Dalam keseharian hidup kita, adalah kenyataan bahwa kita senantiasa mengalami suasana hati yang berpindah-pindah bentuk; dari situasi serius lalu ke situasi riang dengan bercanda dan tertawa atau pun dari situasi kesal dalam hal-hal kecil namun tidak terlalu menjengkelkan lalu ke situasi serius atau ke situasi sebaliknya, yakni gembira. Semua situasi ini kita anggap sebagai situasi normal atau biasa saja, tak ada yang istimewa. Pada sebagian orang yang rutinitasnya serius, misalnya para pekerja yang amat serius bekerja di perkantoran dari pagi hingga sore hari lalu pulang ke rumah tanpa banyak bercanda atau tertawa, hal ini masih dianggap sebagai situasi yang normal. Normal dalam kategori bahwa tidak ada peristiwa yang luar biasa, yang dialami seseorang di mana peristiwa ini membuatnya tersentak dan merasa terinterupsi dari aktifitas kehidupannya sehari-hari.
Situasi yang ingin diuraikan oleh penulis di sini adalah situasi yang tidak normal atau situasi yang dianggap amat berbeda dari biasanya, yang mampu menyentakkan seseorang dari aktifitasnya sehari-hari. Situasi ini penulis sebut sebagai situasi emosi dengan mengacu pada asal mula kata itu sendiri yang diambil dari bahasa Latin, yakni dari kata; exmovēre, emovēre (to move out, move away), pemisahan katanya yakni; ex-, e + movēre (to move—more at move).[1] Penulis mengambil pengertian terakhir dalam bahasa Inggris tersebut yakni more at move; artinya terdapat suatu gerakan (move) yang bergerak secara ‘lebih’ (more) atau dapat dikatakan ‘berlebihan’. Pengertian ‘lebih’ atau ‘berlebihan’ ini tentunya dapat kita mengerti sebagai gerakan atau tindakan yang berlebihan dari yang semestinya. Jadi emosi dapat dikatakan sebagai suatu pergerakan atau tindakan yang melebihi dari tindakan yang semestinya. Hal ini pula yang dikatakan sebagai tindakan tidak normal atau yang menyimpang dari tindakan normal atau tindakan semestinya.
Mengapa terdapat tindakan berlebihan atau yang biasa dikenal dengan istilah ‘overacting’ ini dalam diri kita? Adalah Jean-Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis Prancis yang mengatakan bahwa tindakan ini adalah cara ‘tertentu’ seseorang dalam menggumuli dunia sekaligus sebagai cara mengadanya di dunia. Cara menggumuli dunia ini yakni saat seseorang berupaya meresponi situasi dunia di mana ia tengah berada dalam situasinya, lalu ia melakukan suatu tindakan tertentu sebagai hasil dari pemahamannya terhadap dunia yang menginginkan orang tersebut untuk bertindak. Cara bertindaknya ini merupakan cara yang eksistensial dan terejewantahkan dalam bermacam-macam rupa; salah satunya adalah tindakan yang berlebihan dari semestinya atau yang telah didefinisikan di atas sebagai tindakan emosional.
Tentunya pernyataan Sartre ini membawa kita kepada suatu refleksi tentang adanya cara eksistensial kita dalam menggeluti dunia yang mewujud dalam tindakan emosional kita. Di sini kemudian kita diajak untuk mengenali bentuk eksistensial diri kita dalam peristiwa emosi yang tengah mendera kita sebagai cara mengada kita di dunia.
Tema emosi ini memang merupakan bahasan yang cukup penting dalam karya Sartre sebagai upaya awalnya untuk membangun kerangka pemikirannya mengenai eksistensi manusia. Penulis katakan upaya awal karena memang tema emosi ini adalah karya kedua Sartre, yakni Skecth for Theory of The Emotion (Esquisse d’une théorie des émotions) yang ditulisnya pada tahun 1939 saat ia berumur 34 tahun[2] setelah La Transcendance de l’égo (1936)[3]. Karya ini juga dapat dijadikan sebagai bacaan pengantar bagi pembaca pemula yang ingin memahami lebih jauh pemikiran Sartre dalam karya-karya selanjutnya yakni, The Psychology of Imagination dan Being and Nothingness.[4] Tema emosi ini sendiri memang lebih jauh dibahas dalam kedua karya tersebut; dalam The Psychology of Imaginationterdapat pembahasan mengenai struktur kesadaran terutama mengenai kesadaran yang bersifat perseptif dan imajinatif, di mana dalam bentuk kesadaran imajinatif, ia dapat membentuk ‘keyakinan’nya sendiri dari proses perseptif, yang mana keyakinan ini lalu menawan dirinya sendiri. Begitu pula dalam Being and Nothingness, terdapat uraian mengenai kesadaran yang bersifat pra-reflektif dan juga uraian mengenai ‘ketertipuan’ diri sendiri (self-deception) dalam judul kedua dari Bab I, yakni Bad Faith.
Emosi Menurut Pandangan Kaum Empiris
Usaha Sartre untuk mengungkap keberadaan emosi dalam diri manusia ini diawalinya dengan menginvestigasi upaya-upaya penelitian kaum empiris mengenai hal ini. Ia memulainya dengan bertolak dari teori psikologi klasik yang dikemukakan oleh William James, yakni yang dikenal sebagai teori periperi (pheripheric). James mengatakan bahwa emosi adalah situasi di mana seseorang mengalami gangguan fisiologis atau organ-organ tubuh.[5] Menurutnya, kondisi seperti kesenangan, kemarahan dan lainnya adalah akibat dari adanya gangguan fisik dalam diri seseorang lalu memunculkan emosi. James menyebutkan satu contoh tentang menangis. Menurutnya, menangis adalah akibat dari keluarnya air mata dan membuat seseorang sedih.[6]
Sartre mengatakan bahwa teori ini telah ditolak oleh para psikolog. Ia mengungkap pendapat seorang psikolog bernama Janet yang mengatakan bahwa James mengabaikan dimensi kejiwaan dalam proses munculnya emosi. Menurut Janet, emosi adalah suatu ‘tingkah laku’ (‘behaviour’) yang tidak dapat beradaptasi dengan tepat saat seseorang dituntut perannya dalam situasi tertentu. Ada semacam pergolakan jiwa dalam diri seseorang, lalu ia melakukan tindakan yang tidak selaras dengan tuntutan tersebut dan beralih pada tindakan lain yang menyimpang.[7] Pada contoh menangis tadi misalnya, terjadi semacam pergolakan jiwa yakni seseorang merasa menderita dan meratapinya (meratapi ini artinya mengakui adanya satu kenyataan yang tidak dapat diterimanya maka jiwa itu bergolak), lalu ia mengeluarkan air mata. Jadi bukan sebaliknya seperti yang telah diuraikan oleh James. Menangis ini kemudian merupakan tindakan yang telah dialihkan dari suatu tingkah normal seseorang akibat kegagalannya dalam berupaya untuk menyesuaikan dirinya dalam situasi tertentu. Tindakan mengalihkan ini dapat dikatakan sebagai tindakan sadar, yakni sadar untuk menyerah (awareness of defeat) pada suatu situasi lalu bertindak dalam bentuk lain.[8] Pengalihan itu menjadi semacam pengambilan keputusan (solusi) yang cepat dalam kondisi terdesak (cutting the guardian knot).[9] Menurut Sartre, teori ini memberi kita satu wawasan baru tentang adanya suatu bentuk pengalihan (bisa juga didefinisikan sebagai suatu bentuk transformasi) tindakan dari satu bentuk tindakan ke bentuk tindakan lainnya dalam peristiwa emosi ini. Sartre sendiri kemudian memakai teori transformasi ini dalam pengamatannya mengenai hal ini (akan dibahas pada uraian berikut). Namun di sisi lain, teori ini menurut Sartre pula, belumlah memuaskan, sebab jika terdapat kesadaran yakni kesadaran untuk menyerah lalu mengalihkan bentuk tindakannya, bagaimana bentuk pengalihan tersebut (yang tentu saja disadarinya) menjadi suatu tindakan yang dapat menjadi teror bagi dirinya atau menderitakannya.[10]
Sartre lalu beralih ke teori psikoanalis yang melihat tindakan-tindakan manusia sebagai simbol-simbol bermakna.[11] Umumnya kita mengetahui teori Freud mengenai interpretasinya tentang kemarahan seorang perempuan sebagai ‘simbol’ dari kecenderungan seksualnya.[12] Sartre mengambil contoh lain dari perumpamaan yang dipaparkan oleh Freud, yakni ketika seorang perempuan mengalami fobia pada saat ia melihat rerimbunan pohon. Perempuan ini bukan takut pada rerimbunan pohon tetapi karena rerimbunan pohon tersebut mengingatkan memorinya pada suatu insiden seksual yang pernah dialaminya. Di sini, perempuan tersebut hanya melakukan tindakan penolakan atas rerimbunan pohon tersebut. Menurut Freud, kondisi emosional ini tidak mengetahui apa-apa mengenai ciri atau simbol tindakannya. Di dalam diri perempuan tersebut, tidaklah terdapat sesuatu selain rangsangan emosi (emotional excitement).[13] Oleh karena itu, bagi psikoanalis ini, kemarahan seorang perempuan atau pun fobia tersebut, merupakan simbol-simbol bermakna ‘sesuatu’ yang bersembunyi di baliknya. Mereka juga mengatakan bahwa emosi-emosi ini berasal dari psiko-trauma. Psiko-trauma yang telah direpresikan menjadi situasi ketidaksadaran (unconcious).[14]
Di sini, Sartre melihat ada yang janggal dari teori psikoanalis ini, yakni saat Freud mencontohkan mengenai memori akan suatu insiden sebagai ‘penyebab’ (sekaligus sebagai satu tindakan) dengan fobia ketika melihat rerimbunan pohon sebagai ‘akibat’nya (sebagai tindakan lainnya), Sartre melihat tidak terdapatnya suatu relasi yang dikatakan Freud sebagai relasi ‘bermakna’ (makna apa yang bisa didapat dari tindakan fobia yang ternyata adalah trauma jiwa akan memori ‘sesuatu’ di masa silam). Jika Freud mengatakan tindakan-tindakan emosional sebagai simbol-simbol bermakna, Sartre melihat tidak terdapatnya relasi makna antara memori sebagai kesadaran (yakni ingatan seseorang akan sesuatu) dengan fobia akan rerimbunan pohon sebagai tindakan emosional. Kedua tindakan tersebut menurut Sartre hanya merupakan relasi kausal (sebab-akibat). Yakni memori sebagai penyebab dengan fobia sebagai akibat. Adapun relasi makna antar keduanya telah terputus, begitu ungkap Sartre. Terputus karena fobia adalah suatu tindakan (suatu simbol) yang mengindikasikan sesuatu (sebagai teka-teki), yakni adanya latar belakang yang menyebabkannya, namun keduanya merupakan situasi yang bertolak belakang. Sebab fobia sebagai tindakan yang diakibatkan adalah tindakan tidak sadar dari memori sebagai penyebab yang merupakan tindak kesadaran (yakni mengingat akan sesuatu). Mengapa bentuk kesadaran sebagai penyebab lalu direpresentasikan menjadi bentuk ketidaksadaran? Bukankah relasi ‘makna’ itu menjadi terputus?
Sartre melihat psikoanalis cenderung lari pada hipotesa ‘ketidaksadaran’.[15] Ketidaksadaran ini menurut psikoanalis diakibatkan dari dorongan-dorongan murni atau insting-insting yang kompleks. Bagi Sartre, sebenarnya insting-insting, dorongan-dorongan murni dan kompleks dibentuk oleh sejarah individu (yakni adanya memori akan insiden seksual), lalu ‘memoles’ realitas menjadi realitas ketidaksadaran (yakni membentuk suatu tindakan spontan seperti fobia ketika melihat rerimbunan pohon).[16]
Kesalahan utama psikoanalis tersebut menurut Sartre adalah karena mereka menempatkan kesadaran berada di luar dari simbol (tindakan) itu sendiri, [17] yakni sebagai sesuatu yang berada di baliknya. Tentu saja relasi maknanya kemudian menjadi terputus. Hal ini menurut Sartre adalah pengaruh dari para pemikir modern memandang keberadaan manusia sebagai suatu diri yang terdiri dari pikiran dan tindakan (atau yang terdiri dari jiwa dan materi). Tindakan yang masih dilihat sebagai fakta objektif untuk diteliti dan berada di luar (berbeda) dari pikiran atau sebaliknya. Keduanya terpisah (pikiranyang sadar dengan tindakan yang tidak sadar). Jadi pikiran itu bukanlah tindakan itu sendiri. Oleh karena itu, jadilah peristiwa emosi manusia diperlakukan sebagai data (fakta) objektif yang berada di luar sana, yang dapat dikumpulkan untuk diteliti secara empiris.
Seharusnya peristiwa fobia sebagai satu tindakan emosional itu diteliti pada dirinya sendiri dan bukan merupakan simbol yang menandakan sesuatu yang berada di belakangnya, begitu ungkap Sartre. Oleh karena itu menurutnya, kita harus kembali kepada peristiwa fobia itu sendiri. Sartre lalu memperkenalkan metode fenomenologi untuk mengungkap peristiwa ini. Metode fenomenologi ini Sartre peroleh dari tokoh yang terkenal dalam aliran fenomenologi, yakni Husserl.[18]
Emosi Dalam Sketsa Fenomenologi Sartre
Metode Fenomenologi dikenal sebagai metode yang mengajak kesadaran kita untuk kembali kepada ‘objek’[19] itu sendiri. ‘Objek’ ini berupa benda konkrit atau pun kesadaran. ‘Objek’ yang dimaksudkan di sini pula adalah fenomena dan bukan objek dalam pengertian kaum empiris yang justru ingin ditentang dalam fenomenologi ini. Istilah fenomenologi itu sendiri berasal dari kata phenomenon(fenomena) dan logos (ilmu). Jadi Fenomenologi adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena. Fenomena itu sendiri dimengerti sebagai sesuatu yang sedang menampakkan dirinya dalam bentuk manifestasinya kepada kesadaran.[20] Di sini Sartre mengikuti Husserl yang menurutnya telah mengatasi dualisme yang terdapat pada filsafat modern (seperti yang sudah dinyatakan di atas bahwa dualisme ini mempengaruhi corak pemikiran para psikolog dan psikoanalis). Dualisme tersebut misalnya terdapat pada Descartes tentang pikiran sebagai substansi spiritual dan materi sebagai ekstensi murni dalam ruang.[21] Dualisme ini lalu mempengaruhi cara berpikir para ilmuwan abad modern yang melihat manusia terbagi dalam dua bagian; pikiran dan organ tubuhnya (materi). Begitu pula pada Kant yang membedakan fenomena; yakni penampakan yang dapat dilihat (diketahui oleh pikiran) dengannoumena; di mana sesuatu yang sedang menampakkan dirinya tidaklah dapat kita ketahui pada dirinya.[22] Teori Freud adalah salah satu bentuk pemikiran yang dipengaruhi oleh pemikiran Kant ini, yakni hipotesan Freud mengenai ketidaksadaran (unconcious) pada manusia yang berasal dari dorongan-dorongan, insting-insting irasional (artinya, terdapat sesuatu dalam diri manusia yang tak dapat diketahui (noumena)), meski pada satu sisi, Freud juga mengatakan bahwa peristiwa ketidaksadaran disebabkan oleh kejadian ‘kesadaran’ traumatik (yaitu ingatan (memori) yang membuat trauma, di mana ingatan ini menunjukkan adanya kesadaran seseorang mengenai sesuatu). Pada Husserl, Sartre melihat dualisme ini teratasi. Husserl mengatakan bahwa ‘objek’ pada dirinya dapatlah diketahui, bukan tidak dapat diketahui (noumena). Sesuatu yang sedang menampakkan dirinya menurut Husserl, dapatlah kita ketahui adanya karena ia menampakkan dirinya sudah dalam ‘kesatuan’aspek-aspeknya sehingga kita dapat melihatnya. ‘Kesatuan’ tersebut dalam definisi Husserl adalah esensi sesuatu tersebut. Jadi penampakan itu sendiri adalah ‘kesatuan’ diri sesuatu yang sedang tampak. Satu contoh misalnya mengenai apel; pada dirinya sendiri kita dapat mengetahui bahwa ia adalah apel, sebab kita dapat menyebutnya apel karena ia adalah apel yang sudah dalam bentuk ‘kesatuan’ aspek-aspeknya, jadi bukan hanya penampakan apel yang kita lihat namun ia tak dapat kita ketahui pada dirinya.[23]
Sartre sepakat dengan Husserl mengenai hal ini, yakni bahwa fenomena dapatlah diketahui adanya dan bukanlah bersembunyi di balik realitas seperti yang dinyatakan oleh Kant. Dengan mengikuti Husserl pula, Sartre lalu mengajak kita untuk kembali kepada ‘objek’ atau fenomena itu sendiri. Oleh karena itu peristiwa emosi sebagai sesuatu yang tengah menampakkan dirinya kepada kesadaran kita haruslah dilihat pada dirinya sendiri. Tindakan emosional seperti fobia bukan lagi sebagai simbol yang perlu diinvestigasi penyebab di baliknya tetapi haruslah dilihat pada dirinya sendiri. Dengan demikian, apa sesungguhnya fenomena emosi itu pada dirinya sendiri? Jika kita menjawab bahwa ia adalah keadaan yang melebihi suatu kondisi yang semestinya atau dapat disebut sebagai suatu ‘tindakan yang berlebihan’ (seperti arti kata emosi itu sendiri yang sudah dibahas dalam bagian pengantar) yang ‘tidak disadari’ seseorang, maka kita akan terjebak kembali kepada teori psikoanalis yang mengatakan bahwa peristiwa emosi adalah peristiwa ketidaksadaran. Dengan begitu pula kita akan meletakkan peristiwa tersebut sebagai tindakan yang merupakan simbol pertanda sesuatu di baliknya, di mana kesadaran si pelaku sendiri hilang entah ke mana dan ia tak akan pernah mengenali mengapa fenomena emosi ini berada dalam dirinya, atau emosi ini entah datang dari mana atau kapan akan berakhir (hilang) dari dirinya. Fenomena emosi ini akan terus menemaninya hingga akhir hayatnya dan terus dideritakannya. Sartre justru ingin mengajak kita untuk mengenali fenomena emosi ini dengan kembali merefleksikannya, dengan begitu kita dapat mengenali peristiwa yang menurut sebagian orang adalah peristiwa ketidaksadaran ini bukan lagi sebagai yang asing di dalam diri kita tetapi sebagai bagian dari diri kita yang dapat kita pahami, dengan begitu kita dapat meringankan beban derita kita sebagai orang-orang yang tertawan dalam emosi dan berangsur dapat mengendalikannya.
Dalam mengawali pengenalan kembali fenomena emosi ini, Sartre mengatakan bahwa fenomena ini adalah peristiwa kesadaran atau suatu kondisi sadar, jadi bukan tidak sadar. Tetapi kesadaran ini sesungguhnya belumlah kesadaran yang sepenuhnya disadari (maksudnya adalah kesadaran ini belum di-refleksi-kan untuk dirinya sendiri). Kesadaran ini masih pada kesadaran akan sesuatu.[24] Tentang ketakutan misalnya, bukanlah kesadaran akan takut (apakah takut itu dan bagaimana takut itu), tetapi kesadaran yang masih berada pada kesadaran akan sesuatu (‘objek’) yang ditakutinya. Seseorang yang mengalami ketakutan bukanlah ia sadar pada dirinya sendiri kalau ia sedang takut dan menyadari akan ketakutannya, tetapi ia hanya sadar akan ‘objek’ yang ditakutinya.[25] Begitu pula dengan cinta, bukan kesadaran tentang apa itu cinta, tetapi kesadaran yang masih merupakan kesadaran akan sesuatu yang dicintai. Takut dan cinta adalah suatu ‘kualitas’ yang dimiliki seseorang. ‘Kualitas’ yang dimaksud adalah suatu ‘struktur afektif’ yang merupakan jenis sensitifitas subjek (seseorang atau kesadarannya) pada ‘objek’.[26] Struktur afektif yang ini dapat dikatakan berbeda-beda bentuknya, yang dengan begitu lalu membentuk sudut pandang tertentu seseorang terhadap ‘objek’. Benci akan Peter, Sartre mencontohkan, bukanlah Peter yang memang membencikan, tetapi kesadaran memberikan suatu ‘kualitas tertentu’ pada Peter.[27] Maka ketakutan tadi adalah kesadaran yang menempatkan ‘kualitas’ takut pada sesuatu yang ditakutinya. Begitu pula dengan cinta, kesadaran meletakkan ‘kualitas’ sayang, rangsangan ketertarikan atau peletakan kualitas cinta lainnya pada sesuatu yang dicintainya.
Sartre mengatakan kesadaran ini masih bersifat ‘intuitif’ dan ‘spontan’.[28] Istilah intuitif yang kita pahami adalah sesuatu yang masih dalam bentuk dicecap, diraba atau dirasakan dengan perkiraan, dengan begitu keadaannya masih bersifat sementara. Begitu dengan istilah spontan, Umumnya dikenali sebagai suatu gerakan yang amat cepat dan mendadak sehingga mengagetkan. Jadi belum dalam bentuk gerakan yang sistematis dan terkendali. Kesadaran yang masih bersifat intuitif dan spontan ini adalah kesadaran yang berada dalam ‘kesegeraan’ dalam merespon sesuatu, kesadaran yang hanya terkonsentrasi secara ‘spontan’ pada sesuatu tersebut. Kesadaran yang bersifat langsung (immediate) ini tidak menimbang terlebih dahulu apakah nantinya kesadaran ini akan memberikan kenyamanan bagi dirinya, kesenangan atau sebaliknya; menjadi penderitaan baginya. [29] Dengan demikian, kesadaran ini belumlah kesadaran yang dipertimbangkan (yang berarti belum direfleksikan). Oleh karena itu Sartre menyebutnya sebagai kesadaran pra-reflektif.[30] Sartre menambahkan bahwa kesadaran jenis ini adalah kesadaran yang belum menempatkan dirinya sendiri sebagai objek untuk direflesikan.
Menurut Sartre, adalah struktur kesadaran itu sendiri yang mempengaruhi cara bertindak seseorang karena dalam kesadaran terdapat dua tipe penangkapan akan ‘objek’nya, yakni penangkapan yang bersifat perseptif dan yang kedua bersifat imajinatif (asal kata dari image). Dalam kesadaran yang bersifat perseptif (persepsi), kesadaran menempatkan ‘objek’nya sebagai sesuatu yang benar-benar nyata dirasakannya (an act of perceiving). Seseorang yang ingin mengenal eksistensi sesuatu sebagai ‘objek’nya secara utuh maka ia harus mengadakan ‘tour’ pada ‘objek’ tersebut secara menyeluruh sehingga kesadaran itu benar-benar merupakan kesadaran yang ‘persis’ mengenai ‘objek’nya.[31] Sedangkan dalam kesadaran imajinatif (image), seseorang mengenali ‘objek’ dengan menyentuh objek namun tidak menyeluruh, sekaligus memasukkan tindakan ‘keyakinan’ di dalamnya (an act of belief), yakni dengan menempatkan ‘objek’nya dalam caranya sendiri (pemahamannya sendiri). Sartre mengatakan cara tersebut ada tiga macam; pertama, kesadaran menempatkan ‘objek’nya sebagai yang tidak eksis (non-existent) misalnya membayangkan tentang adanya putri duyung (tentu saja tidak eksis bukan?), kedua, kesadaran menempatkan ‘objek’nya sebagai yang tidak hadir (absence) misalnya Peter saat ini tidak ada di hadapan saya, ketiga, kesadaran menempatkan ‘objek’nya pada suatu tempat entah di mana (elsewhere), misalnya Peter saat ini sedang berada di New York.[32] Tindakan menempatkan ‘objek’ ini menurut Sartre adalah konstitutif pada kesadaran imajinatif.[33] Perlu diingat pula bahwa tindakan menempatkan ‘objek’ pada kesadaran imajinatif ini juga berada dalam koridor ‘kesegeraan’ (yakni yang bersifat langsung atau ‘intuitif’ dan ‘spontan’ tadi).
Sartre memberi contoh di sini untuk mengatakan bahwa tindakan penempatan ‘objek’ kesadaran imajinasi mempunyai caranya sendiri. Mengenai rasa senang misalnya. Saat seseorang dikabarkan oleh kekasihnya bahwa ia akan datang menemuinya, orang tersebut ‘spontan’ merasa amat gembira. Ia lalu bersiul-siul dan berdansa sendiri dengan tangan kosong seolah-olah merangkul sesuatu, seolah-olah kekasihnya berada di hadapannya. Di sini, kesadaran imajinasi orang tersebut menempatkan ‘objek’nya (kekasihnya) yang tidak hadir (absence) seolah-olah berada dalam rangkulannya. Begitu pun pada detik-detik pertemuannya dengan kekasihnya, seakan-akan kekasihnya telah berada di depan pintu rumahnya.[34] Artinya, kesadaran imajinasinya menempatkan ‘objek’nya seolah-olah berada di suatu tempat, yakni yang sedang berdiri di depan pintu rumahnya. Pun membayangkan kekasihnya sebagai dewi yang turun dari surga sama halnya dengan membayangkan kekasihnya sebagai putri duyung dalam contoh di atas (yang berarti sama-sama mustahil). Dengan begitu, kesadaran imajinasi di sini juga dapat menempatkan objek sebagai yang tidak eksis (non-exist).
Imajinasi memang hadir untuk menjadi stimulus bagi tindakan, ungkap Sartre. Ia bereaksi terhadap suatu rangsangan seperti halnya yang dilakukan oleh kesadaran perseptif, namun tentu saja dengan artikulasi yang berbeda. Suatu artikulasi yang mempunyai cara yang eksistensial dalam berelasi dengan objek. Terdapat intensi-intensi, gerakan-gerakan, pengetahuan dalam diri seseorang yang saling mengkombinasi satu sama lain guna membentuk image dan hal ini terjadi secara spontan.[35] Jadilah ‘objek’ itu digumuli oleh kombinasi tersebut dan membentuk ‘kualitas’ senang, cinta, benci, takut seperti contoh yang telah disebutkan di atas. Dengan begitu, Kita dapat mengatakan bahwa kesadaran mempunyai kompleksitasnya sendiri, yakni terdapat berbagai macam artikulasi dari rangsangan yang diterimanya dan dapat saja menawan dirinya dengan ‘halusinasi’nya sendiri saat seseorang berada dalam suatu situasi tertentu.
Contoh lain yakni tentang peristiwa melarikan diri. Saat seseorang dikejar hewan yang menakutkannya misalnya, ia lalu melarikan diri. Melarikan diri menurut Sartre adalah suatu kombinasi tindakan dari intensi-intensi, gerakan-gerakan dan pengetahuan (yakni pengetahuan akan sesuatu yang membahayakannya) yang dengan ‘cepat’ atau ‘mendadak’, bergerak menjauh dari sesuatu di hadapannya guna menyelamatkan diri). Melarikan diri jug a merupakan suatu bentuk transformasi kesadaran imajinatif, yakni saat kesadaran seseorang menangkap adanya seekor hewan yang menakutkannya (ia menangkap adanya bahaya), namun hewan tersebut tak dapat dinegasikannya, kesadaran imajinasinya lalu mentransformasi suatu bentuk tindakan penegasian, yakni dari negasi terhadap eksistensi hewan menjadi penegasian akan eksistensi dirinya, yakni melarikan diri.[36] Kesadaran imajinasi lainnya dari orang ini pun turut bermain pula, yakni hewan ini begitu menakutkannya menurutnya, yang bisa jadi hewan tersebut belumlah menakutkan bagi orang lain, namun kesadaran imajinasinya telah menempatkan suatu ‘kualitas’ tertentu, yakni sesuatu yang menurutnya menakutkan, kepada hewan tersebut. Tikus misalnya, tidaklah menakutkan kebanyakan orang, tapi bagi perempuan tertentu, ia menjadi menakutkan dan perempuan tersebut lalu berteriak histeris dan melarikan diri. Di sini, kesadaran imajinatif tertawan oleh halusinasinya sendiri, yakni sesuatu yang sebenarnya sederhana, namun dipandang secara ‘berlebihan’ oleh perempuan tersebut.
Peristiwa melarikan diri dalam berhadapan dengan hewan lainnya seperti ular misalnya, pada sebagian orang, memang menakutkan, kesadaran seseorang yang biasa mengatakan bahwa ular itu menakutkan, maka dengan imajinasinya ia lalu mentransformasikan tindakan takut menjadi tindakan melarikan diri. Tetapi bagi orang yang menganggap ular itu tidak menakutkan (anggapan yang biasa dianut oleh seorang pawang ular) maka ia cukup dengan menghadapinya. Artinya di sini, kesadaran imajinasi dapat men-transendesi-kan sesuatu yang sederhana (jika kita katakan ular itu tidak menakutkan) menjadi tidak sederhana (menakutkan). Transendensi di sini adalah upaya seseorang untuk melampaui ke-ter-situasi-annya (its facticity). Seperti halnya pada contoh senang dengan bersiul-siul di atas, seseorang mentransendensikan situasi konkrit yang sederhana menjadi situasi senang yang ‘berlebihan’ (amat menyenangkan) dalam imajinasinya. Seseorang yang berada dalam situasi ini bisa menjadi ‘overacting’. Sama halnya dengan peristiwa melarikan diri tadi, di mana seseorang perempuan ‘melebihkan’ situasi bahaya yang (sebenarnya) sederhana (yakni dalam berhadapan dengan tikus dalam contoh di atas) menurut hemat penulis, menjadi bahaya yang luar biasa bagi perempuan tersebut.
Sartre mengatakan tindakan melarikan diri adalah jenis ketakutan aktif. Namun pada jenis ketakutan yang sebaliknya, yakni ketakutan pasif, Sartre mencontohkan fenomena pingsan. Seseorang yang melihat adanya bahaya tadi, ia lalu pingsan. Pingsan tersebut adalah suatu tindakan di mana seseorang berusaha menegasi eksistensi bahaya, namun merupakan hal yang sulit baginya untuk melakukannya, penegasian tersebut lau berbalik menjadi penegasian akan dirinya, yakni dengan pingsan.[37]
Senang dengan bersiul-siul dan berdansa, ketakutan dengan melarikan diri atau dengan pingsan, semuanya ini menurut Sartre, adalah tindakan eksistensial seseorang dalam menghadapi suatu situasi (yakni situasi dunia). Suatu tindakan yang berbeda-beda dan mempunyai caranya sendiri. Cara bertindak yang berbeda-beda ini menurut Sartre adalah mode eksistensi seseorang dalam mengada di dunia[38] atau seperti yang dikutip olehnya dari Heidegger; ‘merupakan cara tersendiri sebagai bentuk eksistensinya yang sedang ‘menjadi” (its way of being).[39] Artinya, saat seseorang berada dalam tawanan situasi dunia di mana ia dituntut untuk bertindak, secara spontan ia meresponi situasi tersebut dalam ‘kapasitas’ kemampuannya untuk merespon. ‘Kapasitas’ meresponnya ini adalah cara eksistensial seseorang dalam menggeluti dunia sekaligus sebagai bentuk ‘mengada’nya di dunia.
Dalam karyanya yang lain, yakni Being and Nothingness, pada judul kedua dari bab pertama, Bad Faith
(terjemahan Walter Kaufman sendiri mengenai judul kedua dari karya Sartre ini dalam bukunya yang berjudul Existentialism from Dostoevsky to Sartre, adalah Self-Deception, penulis mengartikannya sebagai ke-tertipu-an diri sendiri, selanjutnya penulis akan memakai terjemahan Walter Kaufman ini (Self-Deception)) Sartre menamakan fenomena-fenomena ini sebagai suatu peristiwa ‘ke-tertipu-an diri sendiri’ namun hal tersebut tidak disadarinya.[40] Suatu tindakan yang berada dalam tawanan situasi, di mana kesadaran dalam ‘melampaui’ (mentransendensi) sesuatu secara langsung di luarnya (sebagai upaya mengatasi ke-ter-situasi-annya), namun membalikkan (mengarahkan) transendensi ini menjadi transendensi akan dirinya. Orang tersebut menjadi berada dalam tawanan situasi diri yang ‘terlampaui’ (berlebihan atau overacting) oleh dirinya sendiri. Di sinilah emosi (suatu keadaan yang berlebihan) lalu hadir. Self-Deception terjadi pada semacam struktur jiwa, yang berada dalam situasi yang dinamakan ‘metastable’, yakni suatu peristiwa saling ‘melampaui’ dari dua aktifitas jiwa dan bertentangan satu sama lain. Dalam Self-Deception, seseorang menangkap adanya kebenaran (Sartre menyebutnya,evidence) namun selanjutnya ia menyerah (mundur) untuk dipenuhi dengan kebenaran ini, tidak ingin untuk diyakinkan olehnya atau pun ditransformasikan ke dalamnya (dimasukkan ke dalam situasi tenang dan jernih dalam memikirkan situasi yang ada). Ia membiarkan dirinya dalam bentuk yang sederhana saja. Proyeksi primitif ini, begitu Sartre menyebutnya, tidak menginginkan banyak kebenaran atau bukti (evidence) dan mencukupkan diri saja, mendorong dirinya untuk menuju pada suatu yang tidak pasti (yakni mendorong dirinya pada suatu pergolakan secara abadi). Pergolakan ini berwujud emosi. Suatu pikiran atau perasaan yang berlebihan. Self-Deception itu sendiri ingin mengabadikan dirinya sendiri dalam situasinya, suatu disintegrasi yang abadi dalam jiwa. Seseorang yang berada dalam kondisi seperti ini, sangat sulit untuk keluar seperti orang yang sedang bermimpi dan sangat sulit untuk dibangunkan. [41] Inilah situasi ketertipuan diri tanpa disadarinya.
Satre mencontohkan kembali tentang fenomena menangis. Saat seseorang tak mampu ‘menolak’ (menegasikan) sesuatu yang membuatnya sedih lalu ia mentransformasikan penegasian ini dalam bentuk ‘kepasrahan diri’ yakni dengan menangis. Menangis adalah suatu peristiwa kesedihan dalam bentuk ‘kepasrahan diri’ akan suatu kenyataan yang tak dapat diterimanya (artinya, jiwa orang itu sendiri tengah bergolak atau sedang bertentangan, tarik menarik satu sama lain antara adanya suatu kenyataan yang diakuinya namun tidak dapat diterimanya).[42] Jiwa ini justru mencukupkan dirinya dalam bentuk ‘pasrah’. Ia tidak ingin diyakinkan atau membuka diri untuk menerima suatu pencerahan lain atau bisa jadi menundanya untuk sementara. Kesadarannya tidak mencoba untuk membuka diri dan melihat sesuatu yang disedihkannya atau ditakutinya secara rasional. Misalnya dengan kemauannya sendiri orang tersebut mencoba membuka diri bahwa kenyataan itu sesungguhnya masih dapat diatasinya.
Contoh lainnya yakni mengenai seorang perempuan yang sedang berjalan-jalan dengan seorang pria yang dekat dengannya dalam hari-harinya belakangan ini. Mereka mengetahui akan adanya saling ketertarikan satu sama lain. Pria tersebut lalu menggenggam tangannya. Perempuan ini menyadari adanya hasrat seksual yang muncul dari genggaman tangan ini dan keinginan untuk melakukan yang lebih jauh. Ia menyadari pula hasrat seksual yang makin tumbuh sejalan dengan perkembangan kedewasaannya. Namun di satu sisi, ia tidak berharap untuk mendapatkan hubungan yang temporal dengan segala konsekuensinya seperti melakukan hubungan seksual hanya untuk waktu yang sesaat (temporal). Ia menjadi ragu dengan pria tersebut namun di sisi lain perempuan tersebut didorong oleh hasrat seksualnya. Menurut Sartre, perempuan tersebut tidak mengetahui secara pasti apa yang ia mau. Perempuan tersebut dihadapkan pada kondisi yang membuatnya bingung. Ia menginginkan sesuatu yang lebih dari pria tersebut, tetapi ia didorong oleh fakta adanya dorongan seksualitas pada dirinya sendiri saat itu. Ia akhirnya lebih memilih untuk bercakap-cakap secara intelektual, tentang kehidupan, keindahan, kemewahan dan lainnya dan membiarkan tangannya digenggam oleh pria tersebut. Ia menegasikan eksistensi ‘tangan’nya sebagai ‘tubuh’nya yang juga berarti menegasikan hasrat seksualnya. Menurut Sartre, ia berada situasi Self-Deception.[43]
Sartre menyimpulkan di sini bahwa Self-Deception adalah ‘seni’ membentuk konsep-konsep kontradiktif pada diri seseorang, yakni kontradiksi antara ide dan negasi ide tersebut. Konsep kontradiksi yang timbul dari kemampuan manusia untuk mengatasi ke-ter-situasi-annya (its facticity) dengan ‘bakat’ transendensi (trancendence)nya atau sebaliknya men-situasi-kan kondisi transendensi seseorang, yakni saat seseorang berada dalam situasi transenden yang melebihi kondisi faktual (misalnya kegembiraan yang luar biasa, yang membuat seseorang “berjingkrak-jingkrak” tanpa melihat situasi faktual) dan berusaha men-situasi-kan ‘bakat’ transendensinya tersebut.[44] Tentu saja konsep yang kontradiktif itu terjadi pada saat yang sama. Fenomena Self-Deception menurut Sartre, juga banyak terdapat pada cara hidup seseorang secara abadi.[45]
Penutup
Refleksi Sartre mengenai fenomena emosi ini, seperti yang sudah dinyatakan sebelumnya, memberi kita suatu pandangan baru tentang bentuk pengenalan diri saat ia berada dalam tawanan emosi. Secara bertahap, jika kita mencoba merefleksikan sejumlah peristiwa emosi, baik dari isi-isi dan bentuk-bentuknya, kita makin menyadari siapakah kita jika sedang berada dalam keadaan emosi. Namun sayangnya, masih terdapat ‘pekerjaan rumah’ yang masih belum terselesaikan dari refleksi Satre ini, yakni menurut Sthepan Strasser (seseorang yang mengkritisi pandangan emosi menurut Sartre ini dalam karyanya “Phenomenology of Feeling”) menemukan bahwa dalam contoh-contoh yang diberikan oleh Sartre (seperti yang telah dijabarkan di atas), ternyata ia tidak membedakan antara kondisi normal dengan kondisi-kondisi emosi lainnya. Di antara peristiwa senang yang berlebihan dengan wujud bersiul-siul dan berdansa, peristiwa ketakutan aktif dengan melarikan diri dengan ketakutan pasif yakni pingsan, lalu menangis dan kondisi dilematis seorang perempuan yang digenggam tangannya oleh seorang pria, seluruhnya tetap dalam kategori peristiwa emosi. Padahal kondisi yang melibatkan perasaan itu amatlah kompleks dan suatu kondisi yang amat spesial (tertentu). Sartre tidak membedakan antara melarikan diri dengan pingsan. Jika peristiwa melarikan diri dapat dimasukkan dalam kategori kesadaran, yakni kesadaran akan sesuatu yang ditakuti namun belum menyadari apa sebenarnya kondisi takut itu (atau apa pula sebenarnya sesuatu yang ditakutinya itu dan sebagainya) maka kondisi pingsan tidaklah dapat diterapkan padanya, yakni bahwa pingsan adalah kondisi sadar untuk menyerah dengan pingsan. Seseorang yang sadar tentunya tidak ingin memilih pingsan jika pingsan ini tentunya seperti yang kita ketahui adalah kondisi yang merepotkan orang lain atau seseorang yang pingsan itu sendiri dapat dikatakan mempunyai fisik yang lemah. Dengan begitu menurut Strasser, Sartre pun tidak membedakan suatu kondisi yang lebih spesifik lagi, misalnya tentang kondisi neurosis-histeris (neurosis yakni suatu keadaan yang diakibatkan oleh gangguan syaraf), yang jelas berbeda dari peristiwa emosi seperti menangis misalnya dalam kondisi normal. Pengertian kesadaran pra-reflektif pada seseorang yang neurosis atau pada seseorang yang punya kebiasaan yang berjalan saat tidur (somnabulant) atau pun seseorang yang tengah ter-hipnotis akan sulit diterapkan. Bagaimana Sartre dapat menjelaskan semuanya ini? Oleh karena itu, menurut Strasser, tetap harus dibedakan kondisi-kondisi tertentu (exceptional conditions) di mana kesadaranpra-reflektif atau pun reflektif tak dapat diterapkan kepadanya.[46]